Waktu makan siang tiba! Berlari ke kantin seperti atlet, pesan makanan favorit, lalu menikmati setiap suapan. Sesaat, hidup terasa lebih ringan. Tapi di tengah makan, muncul satu pikiran: “Aduh, abis ini kerja lagi.” Langsung kehilangan selera beberapa persen.
Kopi sudah di tangan http://sbobet.blocktrail.com/ duduk di meja kerja dengan penuh harapan. Jari-jari mulai mengetik, tapi lima menit kemudian mata melirik jam. “Kok baru jam 08.05?” Rasanya sudah kerja keras, padahal baru baca email. “Yah, masih lama pulang,” keluh hati kecil yang mulai gundah.
Balik ke meja http://www.photos.djournal.com/ kerja setelah makan, kantuk menyerang tanpa ampun. Mata berat, kepala pusing, tubuh malas bergerak. Laptop sudah terbuka, tapi tangan tak kunjung mengetik. Otak penuh pertanyaan, “Kenapa nggak ada jam tidur siang di kantor
Jam 11.30 mulai http://static-images.silvercar.com/ melihat jam berulang kali. Rasanya waktu berjalan lambat. Perut semakin tidak bisa diajak kompromi. “Ayo dong, jam 12 cepat sedikit,” bisik hati. Fokus kerja makin menurun, bayangan makan siang makin jelas di depan mata.
Pagi dimulai dengan https://hit9x.club/ semangat membara. Alarm berbunyi, langsung bangkit, mandi, dan sarapan. Pikiran penuh harapan, “Hari ini aku produktif!” Tapi begitu tiba di kantor, melihat tumpukan kerjaan, semangat mulai redup. “Oke, bisa!” katanya dalam hati, mencoba bertahan.
Pekerjaan mulai https://sandbox.mancity.com/ dikerjakan, tapi perhatian gampang teralihkan. Grup chat kantor ramai, notifikasi HP berbunyi. Ingin tetap fokus, tapi timeline media sosial menggoda. “Cuma cek sebentar,” pikirnya. Tahu-tahu, sudah 15 menit berlalu tanpa menyelesaikan tugas.
Saat jam http://sbotop.blocktrail.com/ menunjukkan pukul 10.00, perut mulai terasa lapar lagi. Padahal baru sarapan. Mulai terpikir, “Beli cemilan enaknya apa, ya?” Kerja tetap lanjut, tapi otak sudah setengah di kantin. Akhirnya, teman-teman diajak beli camilan biar kerja terasa lebih ringan.
Setelah camilan http://dev.files.ontario.ca/ masuk ke perut, energi mulai naik sedikit. Tugas dikerjakan lebih cepat, tapi tak lama kemudian, bos datang membawa pekerjaan tambahan. “Aduh, ini kerjaan dari siapa lagi?” Pikiran mulai lelah, tapi bibir tetap tersenyum, mencoba tetap profesional.
Beberapa rekan kerja tampak semangat, sementara yang lain juga berjuang melawan kantuk. Ada yang pura-pura baca dokumen tapi matanya setengah terpejam. Ada yang menyeruput kopi ketiga hari ini. Semua berjuang agar tidak tertidur di depan layar komputer.
Tiba-tiba, rapat mendadak diumumkan. Langsung panik. “Aduh, ini kenapa harus rapat siang-siang?” Padahal mata masih berat. Duduk di ruang rapat, mendengarkan atasan berbicara, tapi pikiran melayang ke kasur empuk di rumah. Rapat selesai, kembali ke meja kerja, mencoba fokus lagi. Tapi, setiap menit terasa seperti satu jam. Sementara tugas makin banyak, motivasi makin menurun. “Besok aja deh, kalau masih bisa ditunda,” mulai muncul niat prokrastinasi.
Bos tiba-tiba datang dan bertanya, “Gimana progress kerjaannya?” Otak langsung reboot seketika, pura-pura sibuk sambil cari alasan. “Eh, lagi dikerjain, Pak!” padahal baru mau mulai. Mulai bekerja dengan setengah hati karena waktu masih panjang.
Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00, tapi rasanya masih belum dekat jam pulang. Mata melirik kalender, berharap ada tanggal merah dalam waktu dekat. Sayangnya, masih jauh. “Harus tetap bertahan,” pikirnya, meski dalam hati ingin rebahan.
Teman kerja mulai mengajak ngobrol ringan, berbagi keluhan, tertawa sebentar. Tiba-tiba, ada harapan untuk bertahan lebih lama. “Oke, ngobrol dikit buat semangat,” pikirnya. Tapi lima menit ngobrol, kerjaan malah makin tertunda. Sore mulai mendekat, jam menunjukkan pukul 16.30. Hati mulai berbunga-bunga, berharap jam 17.00 segera datang. “Ayo dong, waktu lebih cepat sedikit,” pikirnya, sambil sesekali melirik jam setiap 30 detik sekali.
Detik-detik menjelang pulang terasa seperti ujian kesabaran. Laptop mulai dimatikan pelan-pelan, tapi masih pura-pura sibuk di depan layar. Ada rasa takut bos datang memberikan tugas dadakan sebelum pulang.
Akhirnya, jam 17.00 tiba! Langsung bergegas mengemasi barang, pakai tas, dan pamit ke teman-teman. Tapi di pintu keluar, tiba-tiba bos bertanya, “Besok bisa datang lebih pagi?” Senyum langsung pudar, hati menjerit, tapi tetap bilang, “Siap, Pak!”
Di perjalanan pulang, badan lelah tapi hati bahagia. Akhirnya bisa istirahat, nonton, atau sekadar rebahan. Tapi tiba-tiba, ingat tugas yang belum selesai. “Ya udah lah, besok aja,” pikirnya, menunda kepanikan hingga esok hari.
Sampai rumah, niat awalnya mau produktif, tapi tubuh langsung menolak. Rebahan sebentar berubah jadi ketiduran sampai tengah malam. Bangun-bangun, kaget karena belum mandi, belum makan, dan alarm sudah siap berbunyi lagi.
Pagi pun tiba, siklus berulang. Sarapan dengan niat kerja tinggi, tapi siangnya sudah ingin pulang lagi. Begitulah hidup pekerja kantoran, penuh harapan di pagi hari, penuh perjuangan di siang hari, dan penuh harapan baru esok harinya.